Operasi Klinik Sosiologi FIS-H UNM Bedah Buku Tentang Jean Baudrillard

Realitas kebudayaan masa kini telah menggelinding bak bola liar, yang menerjang batas-batas normatif, etik, moral, dan kebenaran. Ukuran-ukuran kepastian di masa kini luluh lantak sehingga melahirkan jenis kebudayaan masyarakat yang tumpang tindih, saling silang, dan berpotongan sedemikian rupa, membuat Barat-Timur; benar-salah; asli-palsu; besar-kecil; indah-tidak indah; normal-abnormal, dsb., mengalami pembauran yang intens, massif, dan total. Itulah realitas kebudayaan pascamodernitas, atau posmodernisme, yang oleh para ahli disebut sebagai era patahan (rupture) modernitas.

Perbincangan tentang posmodernitas tiada habisnya dikarenakan sebagai suatu fenomena  mutakhir ia tengah berlangsung sampai detik ini. Apalagi masyarakat kontemporer tengah berada di tengah-tengah denyut sejarah kekinian yang ditandai dari kemajuan komunikasi melalui mesin-mesin kebudayaan semisal televisi, smartphone, hingga teknologi berbasis AI. Realitas sosial mengalami perubahan radikal sampai ke titik di mana mengalami kematian dan bangkit ke dalam realitas baru bernama realitas virtual.

Melalui khazanah pemahaman di atas, Klinik Sosiologi Prodi Sosiologi FIS-H UNM mengadakan Bedah Buku karya Medhy Aginta Hidayat, dosen sosiologi Universitas Trunojoyo bertitel Jean Baudrillard dan Realitas Budaya Pascamodern, Senin (27/03/2023). Selain penulisnya, bedah buku kali ini ikut mengundang Wahyu Budi Nugroho, dosen sosiologi Universitas Udayana sebagai pembedahnya.

Jean Baudrillard adalah filsuf cum sosiolog Perancis yang pemikirannya cukup diminati  dan banyak diperbincangkan terkait masyarakat pascamodern. Berbeda dari Anthony Giddens misalnya, yang melihat perubahan masyarakat kontemporer hanya merupakan lanjutan dari masyarakat modern, Baudrillard justru sebaliknya. Ia melihat era kekinian merupakan suatu jenis masyarakat baru yang tengah berubah radikal akibat representasi permainan tanda-tanda melalui kegiatan konsumsi dan media massa.

Hal itu dikemukakan Wahyu saat memberikan indikasi-indikasi terkait era posmodernisme yang ditandai dari perubahan orientasi masyarakat dari masyarakat produksi menjadi masyarakat konsumen. Ciri fundamental dari masyarakat kekinian ia sebutkan sebagai masyarakat yang gemar mengkonsumsi. “Bahkan dalam aktivitas produksi, masyarakat juga melakukan aktivitas konsumsi,” ujarnya.

Dalam awal pemaparannya, Wahyu mengingatkan dengan mengakui bahwa era pascamodernitas bukan realitas wacana, melainkan telah terjadi bahkan untuk Indonesia sendiri era itu telah dimulai di masa era rezim Orde Baru yang ditandai dengan era Oil Boom.  Menurut perspektif tokoh seperti Anthony Giddens dan Jean-Francois Lyotard, Wahyu menyatakan ciri-ciri atau karakteristik masyarakat posmodern dapat ditandai dari massifnya konsumsi informasi dan kemunculan wacana tanding terhadap wacana dominan saat ini.

Suasana bedah buku

Di Indonesia seperti dicontohkan Wahyu berkaitan dengan kemunculan narasi tandingan terhadap narasi besar adalah seperti misalnya peristiwa kelam pemberontakan G30 S PKI yang melahirkan banyak penafsiran baru mengenai dalang di balik peristiwa tersebut. Contoh yang lebih kekinian adalah fenomena kemunculan Sunda Empire atau sejenisnya yang mengindikasikan kemunculan “nabi-nabi” baru sebagai gejala adanya narasi alternatif untuk menandingi tafsir dominan.

Salah satu konsep kunci Jean Baudrillard adalah hiperealitas yakni suatu kondisi ketika penanda dan petanda sudah tidak saling mewakili sehingga menghasilkan realitas palsu. Salah satu upaya posmodernisme adalah memisahkan relasi penanda dan petanda , ujar Wahyu, yang berarti antara makna dan kata mengalami pergeseran menunjukkan makna lain yang tidak sama sekali berhubungan. Dalam ranah identitas, Wahyu mengatakan posmodernisme dapat mengakibatkan matinya subjektifitas sehingga yang ada setiap kepribadian manusia hanya dapat diwakili melalui merk-merk barang yang dikonsumsinya.

Sementara itu, melalui pemaparannya Mehdy Aginta Hidayat menjelaskan ketertarikan terhadap pemikiran Jean Baudrillard dikarenakan konsep-konsepnya  akan sangat potensial untuk dikembangkan di masa depan. Seperti diketahui sebelumnya konsep-konsep kunci Baudrillard seperti simulakrum, hiperealitas, masyarakat konsumsi, implosi informasi, dan subjektivitas, masih akan sangat terbuka menjadi jembatan pemahaman untuk menganalisis lebih jauh fenomena kiwari.

Dalam bukunya, Mehdy menjelaskan tentang masyarakat konsumer yang mengalami bujuk rayu untuk melakukan konsumsi tanpa melihat kegunaan suatu produk. Di masyarakat konsumsi dijelakan kegiatan menikmati barang-barang bukan satu-satunya aktivitas konsumsi, tapi juga tempat melakukan aktivitas itu juga merupakan bagian dari kegiatan konsumsi. Mehdy menyebut itu dapat terjadi karena masyarakat konsumsi mengalami bujuk rayu (seduction) berupa mitos-mitos sehingga terdorong untuk melakukan kegiatan konsumsi.

Satu hal yang tidak kalah penting disampaikan Mehdy adalah upaya Baudrillard melengkapi konsep nilai guna dan nilai tukar dari suatu produk dalam skema kapitalisme. Tidak cukup untuk saat ini dalam interaksi jual beli barang-barang hanya ditentukan dari nilai guna dan nilai tukarnya. Melalui Baudrillard, Mehdy mengemukakan tentang nilai tanda dan nilai simbol yang membuat kegiatan konsumsi terjadi. Artinya, menurut Mehdy, saat orang berbelanja, nilai barang-barang tidak ditentukan karena asas kegunaan dan nilai tukarnya, melainkan cukup simbolik kah barang itu dipakai untuk mewakili suatu kelas sosial tertentu.

Di akhir kesempatanya Mehdy mengajukan kritik terhadap pemikiran Jean Baudrilard khususnya untuk pembaca Indonesia. Pertama ia mengatakan pemikiran Baudrillard sulit dan lebih mudah dipahami melalui komentator-komentatornya. Kedua,  warna pemikiran Baudrillard cenderung pesimistik dan fatalis terkait masa depan masyarakat kontemporer. Ketiga, pemikiran pemikir Perancis ini membutuhkan improvisasi untuk diterapkan ke dalam konteks waktu dan tempat yang berbeda.

Kegiatan bedah buku ini dimoderatori dengan apik oleh dosen Sosiologi FIS-H UNM Sopian Tamrin, setelah sebelumnya dibuka oleh Wakil Dekan I FIS-H UNM Dr. Muhammad Syukur dan Dr.  Idham Irwansyah selaku Kaprodi Sosiologi FIS-H UNM.  “Semoga kegiatan serupa bisa terus kami gelar berikutnya dengan lebih baik ke depannya,” Ungkapnya.[]