
Di era perjuangan revolusi, Indonesia pernah melahirkan pemikir berkaliber seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir atau Mohammad Natsir. Selama masa perjuangan kemerdekaan, tanpa mengecilkan peran penting pejuang lain, mereka dikenal keras kepada penjajahan bangsa barat. Bagi mereka, kolonialisme adalah sejarah menyimpang perkembangan bangsa-bangsa berkulit putih meraih kesejahteraan. Barat melalui praktik penjajahannya lebih banyak memberikan efek buruk bagi negara-negara di belahan timur.
Saat ini penjajahan tidak dilakukan langsung melalui fisik, tapi pikiran. Itulah neokolonialisme, suatu ide penjajahan bak opium dapat mempengaruhi cara pandang, perilaku, dan kebiasaan masyarakat terjajah. Mengubah tradisi kearah modernisasi. Membuat kebiasaan lokal berganti menjadi trend global. Saat ini, trend global menjadi jauh lebih akseleratif pasca teknologi komunikasi menyatukan sudut dunia ke dalam satu kawasan, meminjam istilah McLuhan, menjadi “global village” (desa global).
Diskursus modernisasi, globalisasi, dan neokolonialisme menjadi pembahasan menarik dalam kuliah umum bertajuk “Globalisasi Universitas, Pengantarabangsaan dan Neokolonialisme” di Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Makassar, dibawakan langsung oleh guru besar Universitas Kebangsaan Malaysia, Prof. Dr. Jalaluddin Abdul Malek di Gedung Menara Pinisi (23/6/2023).
Dalam pemaparan kuliah umumnya, Prof. Malek banyak mengupas sendi-sendi kolonialisme yang telah lama menggerogoti negara-negara dunia ketiga. “Kolonialisme adalah cantuman dari orientalisme,” beber Prof. Malek sembari mengungkapkan tujuan orientalisme yaitu untuk mengkooptasi negeri jajahan. Salah satu ciri orientalisme adalah sikap inferior masyarakat timur saat dipersandingkan dengan masyarakat barat.
Prof. Malek mengkategorisasi empat tipe sikap negara-negara terhadap globalisasi. Pertama adalah bangsa yang menerimanya seperti negara-negara eropa dan amerika utara. Kedua negara-negara yang menurut Prof. Malek sarkas terhadap globalisasi seperti Venezuela, Cina, Kuba, dan Korea Utara. Ketiga adalah negara yang setengah menerima setengah menolak, menurutnya Malaysia dan Indonesia masuk dalam klasifikasi ini. Dan, yang terakhir adalah negara-negara arab yang keras melawan globalisasi.
Lalu, bagaimana hubungan globalisasi dengan dunia pendidikan? Menurutnya, selepas era 90-an praktik pendidikan di negara dunia ketiga, terkhusus Indonesia, mengalami pembaratan ilmu pengetahuan yang berorientasi pragmatis, sekuler, dan bebas nilai.
Sistem ilmu pengetahuan selama ini mengalami disrupsi akibat sekulerisasi. Sains yang menjadi dasar pengetahuan manusia hanya mengikuti sistem berpikir barat berorientasi empiris. Sementara metodeloginya menempatkan positivisme sebagai satu-satunya cara meraih ilmu pengetahuan. Output dari itu adalah dikotomi realitas yang terbelah: barat vs. timur, modern vs. tradisional, maju vs. terbelakang, dll. Sistem berpikir oposisi biner inilah yang merasuki sistem pendidikan selama ini.
Dalam hal ini terkait dengan perguruan tinggi, Prof. Jalaluddin mengungkapkan, ide-ide barat telah meninggalkan masalah berantai yang menimpa perguruan tinggi di dunia ketiga, berupa buruknya kualitas pengajaran, instannya proses pembelajaran, dan rendahnya kualitas alumni menjadi masalah serius yang mesti dipecahkan. Itu dikatakannya karena selama ini rumusan visi dan misi tujuan pendidikan tidak melihat kebutuhan apa yang layak bagi bangsa kita. “Ini seperti Anda diberikan air, mau sedikit atau tidak sama sekali menerimanya, tergantung Anda yang mau mengambilnya,” ungkapnya.

Apa lacur, itu karena ide kemajuan yang melekat dalam paham modernisme dan globalisasi diterima mentah-mentah di dalam sistem ilmu pengetahuan kita. Akhirnya berdampak serius kepada model pendidikan. Pendidikan menjadi pragmatis dan berproses menuju gaya pendidikan liberal. Dampak pendidikan liberal selanjutnya akan menghilangkan sumber-sumber pengetahuan yang berasal dari nilai-nilai setempat, seperti misalnya kearifan lokal.
“Pendidikan kolonial bertujuan mengekalkan hirarki pengaruh universitas-universitas terkemuka barat seperti misalnya Oxford, Harvard, atau Ivy League. Melalui gangster-gangster bekedok jurnal internasional. Orang-orang ketika berbahasa Inggris sudah dianggap pandai,” beber Prof. Malek.
Selama ini tidak ada upaya kritis untuk membaca apa maksud di balik gagasan-gagasan kemajuan yang dibawa oleh barat. Padahal, menurut Prof. Malek era 1950-an, seiring dengan proses dekolonialisasi para sarjanawan dan intelektual Dunia Ketiga telah mempersoalkan dengan nada kritis pengaruh dan dominasi ilmiah bangsa Eropa atas bangsa Timur.
Di Asia Tenggara, ada Syed Hussein Alatas, sosiolog yang melahirkan ide orisinal terkait pemenjaraan intelektual (the captive mind) dan populer berkat karya babonnya The Myth of the Lazy Native (Mitos Pribumi Malas).Di Indonesia, Prof. Malek mengingatkan forum kepada Mohammad Natsir, perdana menteri Indonesia di masa perjuangan, yang disegani karena keberaniannya melawan kolonialisme Belanda. Baik Syed Hussein Alatas dan Mohammad Natsir merupakan intelektual yang sama-sama mengambil jarak kepada pemahaman barat. Diibaratkan tanaman, ide-ide barat tidak akan dapat tumbuh subur di tanah orang-orang timur.
Di akhir pemaparan, Prof. Malek menekankan perlu suatu world view bagi sistem pendidikan yang dapat menyelaraskan tiga tatanan yaitu kehidupan informal (keluarga), formal (sekolah), dan non-formal (masyarakat) agar dapat melahirkan pribadi-pribadi yang berbudi baik ketika menghadapi dinamika kehidupan di antara ketiga tatanan itu. Ketiga tatanan ini juga mesti ditopang oleh tatanan epistemik menurut perspektif agama, berupa tafakkur (berpikir), tadabbur (perenungan), ta’ammul (pengamatan serius), tasyakkur (bersukur), tadzakkur (ketenangan batin), dan tazkirah (keteladanan).
Sebelum mengisi kuliah umum di Program Studi Sosiologi, kedatangan Prof.Dr. Jalaluddin Malek di Makassar dalam rangka menjadi pembicara di International Conference on Humanities Education, Law, and Social Sciences (ICHELSS) 2023 bersama Prof. Najma Musa dari University of the Wetern Cape South Africa bekerja sama dengan Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Makassar.
Kegiatan ini disambut baik oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Prof. Dr. Jumadi., S.Pd., M.Si, sekaligus membuka kegiatan ini. “Prof. Dr. Jalaluddin Abdul Malek, akan menjadi guru besar tamu di Program Studi Sosiologi. Beliau akan mengisi kuliah tamu 2 atau 3 sesi selama satu semester ke depan,” bebernya yang disambut hangat peserta forum. (synm)